You Are Here: Home - Sampah - Sampah di Depok Maharaja

Isyu terhangat di Perumahan Depok Maharaja adalah masalah sampah yang tak kunjung selesai, Pak Adriana, anggota DPRD Kota Depok merespon diskusi milis Depok Maharaja. Berikut paparannya Ket Foto (Pak Adriana ketika partisipasi kerja bakti membangun lapangan bulutangkis di Blok P Depok Maharaja)

Pak Slamet,
saya sudah baca2 web rw 12 Depok Maharaja yg diberikan. Jadi "solusi" akhirnya adalah pihak developer (bu Telly) menjanjikan akan menyiapkan sendiri lahan (di blok S) & mesin UPS nya?
Bila memang sudah ada solusi seperti itu, saya turut mendoakan semoga proses realisasinya bisa lancar & sukses. Apakah sudah dijadwalkan secara teknis; kapan & bagaimana rencana itu akan direalisasikan?

Model ini mirip dengan model di salah satu perumahan di Cimanggis. Lahan - oleh developer - disiapkan di luar komplek perumahan. Mesin UPS nya dibeli dan disiapkan oleh developer juga, langsung ke supplier. Tenaga pelaksana dan biaya operasionalnya juga disiapkan oleh developer. Sepertinya, angkutan sampah lokal (dari rumah warga ke lokasi UPS) juga disiapkan oleh developer. Mungkin warga dibebankan iuran ke developer untuk pengelolaan lingkungan ini. Dan setahu saya, dgn model ini, warga dibebaskan dari iuran / retribusi sampah ke pemda. Karena sdh swakelola.

Yang saya belum tahu adalah realisasinya.
Sempat mendengar ada complaint juga dari warga sekitar lokasi UPS (di luar kompleks perumahan). Tapi kelanjutannya saya belum tahu. Mudah2an lancar & sukses, agar menjadi model juga bagi perumahan lainnya.

Memang,
sebagaimana yg sdh dituliskan panjang lebar oleh Pak Untung, Pak Firdaus, Pak Slamet, dll, di sini, persoalan sampah adalah persoalan yg agak sensitif. Karena berakar pada persepsi & pengalaman kita bersama.

Saya ingin share di sini sedikit hal tentang "konsep" normatif nya.
Khususnya tentang sampah rumah tangga (include sampah perumahan, pertokoan, pasar, terminal, dsj). Karena ada juga sampah medis, pabrik, B3, dsb (yg ini dibahas pada kesempatan yg lain, insya Allah).

Selama ini, di Depok khususnya, sampah (rumah tangga) dikelola dgn model "kumpul-angkut-buang". Atau; dari sumber sampah (rumah/toko/kios) sampah di buang ke tong sampah lalu dikumpulkan di TPS / Tempat Pengumpulan Sampah Sementara, lalu diangkut oleh mobil/truk sampah ke TPA / Tempat Pembuangan Akhir sampah, yang berlokasi di kelurahan Cipayung, dengan model Open Dumping.

Sepintas lalu, model ini cukup menghasilkan "kebersihan" sampah di lingkungan kita (perumahan/pertokoan/dsb). Terutama pada saat sampah di TPS bisa terangkut oleh truk sampah ke TPA.

Lalu, apa masalahnya?

Masalahnya adalah daya dukung operator, mobil/truk sampah & lahan TPA.

Dengan jumlah penduduk kota Depok yg terus berkembang (pada tahun 80-an sampai 90-an awal, penduduk Depok hanya sekitar 300 ribu sampai 500 ribu jiwa. sekarang? hampir 1,5 juta jiwa atau meningkat 3 x lipatnya). maka, persoalan sampah ini menjadi semakin kompleks. Menurut Dinas Kebersihan, dengan armada truk sampah & operator yg ada saat ini, maka sampah yg dapat terangkut setiap harinya dari TPS ke TPA hanya sekitar 30% nya saja. Konsekuensinya adalah "giliran" pengangkutan. Sehingga sebagian sampah di TPS "terpaksa" menjadi waiting list, membusuk & bau. Padahal, jumlah TPS terus meningkat (termasuk TPS Liar yg tidak terdaftar di Dinas Kebersihan). Belum bila terjadi kerusakan/mogok pada mobil/truk sampah. Dan pemberlakuan "libur" TPA Cipayung pada hari-hari tertentu (baik krn sebab teknis maupun non-teknis).

Masalahnya belum berakhir disana. Bila, kita perbanyak armada mobil/truk sampah & operatornya, dan semua sampah di TPS bisa terangkut - tanpa sisa - ke TPA Cipayung, sehingga lingkungan kita menjadi "bersih" dari sampah. Maka, masalah berikutnya adalah pada kapasitas lahan TPA Cipayung itu sendiri. Cepat atau lambat akan penuh. Dan bukan cuma bau seperti di TPS, tapi akumulasi dari segala jenis bau di TPS! Bagaimana kalau diperluas lahan TPA nya? Sudah ada pemukiman penduduk di sekitarnya, dan cukup padat pula. Mereka lah, saudara kita sesama warga Depok yg merasa dirugikan. Bagaimana kalau dicari lokasi baru yg jauh dari pemukiman? Ini pun tidak mudah, meski sedang diupayakan lokasi tsb, gabungan dr beberapa kota kabupaten (depok & bogor).

Lalu bagaimana?

Pemkot Depok sejak tahun 2006 mencoba menggagas konsep Sipesat (Sistem Pengolahan & Pengelolaan Sampah Terpadu), yang mengubah paradigma sampah dari "kumpul-angkut-buang" menjadi "kumpul-olah-manfaat" atau dari "masalah" menjadi "sumberdaya".
Sederhananya, sampah diarahkan untuk diolah & dikelola di 3 level. Yakni level Rumah Tangga, level kawasan & level kota. Pada level rumah tangga, dilakukan proses pemilahan sampah (organik & non-organik) dan komposting rumah tangga (takakura, biopori, dsb.) Pada level kawasan, konsep TPS diubah menjadi UPS (Unit Pengolahan Sampah) dgn bantuan mesin, sdm operator & hanggar tertutup. Dgn kapasitas mesin UPS sekitar 30 meter kubik per hari atau setara dgn 4 truk sampah. Teorinya, dengan sekitar 100 UPS yang tersebar di kota Depok, maka sampah rumah tangga akan tertahan di TPS/UPS dan berhenti mengalir ke TPA.Pemda Depok, dalam kurun 5 tahun, menganggarkan 60 UPS. Sisanya diharapkan dari peran swadaya masyarakat & swasta. Soal budget operasional lanjutan & maintenance nya, diharapkan bisa share antara pemerintah & warga. Formulanya masih perlu dirumuskan dgn lebih proporsional. Lalu, setelah itu di TPA dilakukan proses sanitary landfill. Sehingga TPA bukan lagi Tempat Pembuangan Akhir sampah, melainkan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah.

Konsep pengelolaan sampah ini tentunya membutuhkan sejumlah prasyarat, proses & "waktu".

Adakalanya seperti menjawab pertanyaan, mana dulu "ayam" dengan "telur"? Belum lagi bila diskusinya bercabang. Dan itulah yg terjadi pada tahun 2006 & 2007. Sehingga implementasi Sipesat atau UPS di Depok agak terhambat. Padahal sementara diskusi kita belum selesai (tentang mana dulu yg harus dilakukan), sampah kita terus kita produksi.

Di tahun 2008,
keluar Undang-Undang Nomor 18 tentang Pengelolaan Sampah. Di dalamnya, secara substansi, ditetapkan model pengelolaan sampah yang kurang lebih mirip dengan konsep yang sempat digagas di pemda Depok. Bukan berarti ini ide yg orisinal dari Depok, karena juga sdh dikemukakan oleh banyak pakar sebelumnya. Hanya saja, utk Indonesia, Depok lebih dulu memuatnya pada kebijakan perencanaan kota (RPJMD). Mungkin pak Untung yg sempat meliput ini dapat menceritakan lebih detail.

Dan tahun 2008 baru saja dibangun 20 unit perdana UPS di kota Depok, melalui APBD. Dan belum beroperasi. Untuk UPS percontohan di kompleks Griya Tugu Asri (dekat rumah pak Nurmahmudi) dan UPS Sukatani (perumahan kopasus), itu bukan merupakan program APBD. Baru percontohan.

Masih ada sejumlah tantangan utk implementasi pengolahan & pengelolaan sampah ini.
Kita tidak sedang mencari siapa yg benar & salah dalam soal sampah ini. Sebab, sampah ini adalah tanggungjawab kita bersama. Karena kita semua adalah "produsen" nya. Karena itu, diharapkan kita semua dapat turut berkontribusi untuk "mengubahnya" dari masalah menjadi sumberdaya, mulai dari level rumah tangga, kawasan & kota.

Bila ada sumbang saran pemikiran, masukan, dsb. tentu sangat berharga.

Wassalam

Adriyana

Tags: Sampah