Sebuah revolusi lingkungan telah lahir. Itu ada dalamperaturan baru yang bisa memecut pemerintah daerahyang lalai dalam urusan "belakang"-nya. "Undang-undangini revolusi.
Juga komitmen nyata Indonesia dalammengantisipasi perubahan iklim," ujar Menteri NegaraLingkungan Hidup Rachmat Witoelar.Peraturan yang dimaksud adalah Undang-UndangPengelolaan Sampah, yang disahkan Dewan PerwakilanRakyat pada 9 April lalu. Aturan ini mewajibkanpemerintah daerah menangani sampah di wilayahnya.Kalau lalai? Akan kena sanksi, ujar M. Gempur Adnan,Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran KementerianNegara Lingkungan Hidup.
Sanksinya tidak main-main, bisa pengurangan danaalokasi umum, dana alokasi khusus, atau danadekonsentrasi yang menjadi hak mereka. Masih belummempan? Dalam dua pasal disebutkan bahwa masyarakatdapat mengajukan gugatan jika pengelolaan sampah tidakberes. Ini hal yang menakutkan bagi para kepala daerahyang ingin dipilih lagi.Selama ini, bersih-tidaknya sebuah daerah dari sampahbanyak bergantung pada minat pemimpin wilayah. Kalaupemimpinnya cuek, ya, penuhlah wilayah itu dengantimbunan sampah.
Sebaliknya, ada pemimpin yangberpikiran maju untuk memanfaatkan buangan tersebut.Ini terjadi di beberapa kampung di wilayah Magelang,Jawa Tengah. Kegiatan mengelola sampah secara lebihsehat ini sebenarnya bukan barang baru bagi wargaKelurahan Rejowinangun Selatan. Sejak dua tahun lalu,sekitar seratus penduduk telah aktif dalam pengelolaansampah. Mereka membentuk Paguyuban Edelweis, yangkegiatannya antara lain memilah sampah danmenjadikannya kompos melalui program 3R (reduce,reuse, recycle) atau "batasi, pakai lagi, dan daurulang".
Pengelolaan sampah dijadikan aktivitas yang menarikminat semua warga. Maka, kalau memasuki wilayah itu,Anda akan segera tertarik dengan banyaknya spanduktentang sampah: "Olahraga jadi sehat, olah sampah jadirupiah" atau "Buanglah sampah sesuai jenisnya".Hasilnya kini sudah mereka petik. "Dari biasanya enamgerobak yang dibuang ke tempat pembuangan akhir setiaphari, kini tinggal dua gerobak," kata Suwartomo, ketuapaguyuban itu, kepada Tempo, Senin dua pekan lalu.Ada dua kampung lain yang memilih jalan serupa denganmenerapkan program 3R, yaitu kampung di rukun warga06, Kelurahan Cacaban, dan di rukun warga 07,Kelurahan Potrobangsan.
Sayangnya, aksi tiga kampungitu tak didukung 17 kampung lain. Mereka terbiasadengan cara konvensional: langsung membuang sampahrumah tangga ke tempat pembuangan sementara.Alhasil, produksi sampah organik dan anorganik darikota berpenduduk 118 ribu jiwa ini tetap besar. Setiaphari ada 360 meter kubik sampah yang dibuang ke tempatpembuangan akhir Banyu Urip.Keberhasilan tiga kampung itu menebalkan keyakinanPemerintah Kota Magelang bahwa mereka mampu mengelolasampah.
Maka dibuatlah target: dalam lima tahun kedepan, semua kelurahan telah menerapkan program daurulang sampah. "Kami ingin menjadikan Magelang zerowaste," ujar Teguh Mujiono, Kepala Dinas PengelolaanLingkungan Hidup Magelang.Warga Magelang patut bersyukur karena pejabatnyamemiliki rencana pengelolaan sampah rumah tangga.Banyak pemerintah kota dan kabupaten lain yang tidakmau repot dan pelit mengeluarkan dana. Mereka masihmenggunakan cara kuno: sampah dikumpulkan, diangkut,dan dibuang ke tempat pembuangan akhir. Di lokasi inisampah cuma ditebarkan dan ditumpuk pada lahan terbuka(open dumping).Akibatnya, aroma busuk menyebar di sekitar lokasi danair sampah mencemari sumur warga. Terbatasnya lahanpembuangan juga membuat gunungan sampah kian tinggi.Ini menimbulkan bencana baru.
Tiga tahun lalu,misalnya, tempat pembuangan sampah di Leuwi Gajah,Kabupaten Bandung, longsor dan menewaskan 33 orang. DiBantar Gebang, Bekasi--yang menjadi tempat pembuangansampah warga Jakarta--juga pernah terjadi longsor yangmengubur tiga pemulung.Bencana seperti ini diharapkan tak terulang lagisetelah Undang-Undang Pengelolaan Sampah hadir.Undang-undang ini menegaskan pengelolaan sampah harusdilakukan secara komprehensif sejak hulu sampai hilir.Pada tingkat perumahan atau kelurahan, dilakukankegiatan pengurangan sampah melalui program 3R. Lantasada kegiatan penanganan sampah berupa pemilahan,pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesanakhir.
Sederet kewajiban pemerintah daerah ada dalamundang-undang yang pertama kali mengatur soal sampahrumah tangga ini. Misalnya wajib membiayai pengelolaansampah dan mencantumkan lokasinya dalam rencana tataruang wilayah kota/kabupaten. Lalu janji untuk menutuptempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistempembuangan terbuka dalam jangka waktu lima tahun.Undang-undang ini menjadi sangat penting untukmengurangi dampak perubahan iklim karena sampah yangdibiarkan terbuka akan melepas gas metana (CH4) keudara. Gas ini bersama karbon dioksida (CO2) dandinitro oksida (N2O) mampu meningkatkan emisi gasrumah kaca.
Padahal emisi yang kelewat tinggi diatmosfer menyebabkan pemanasan global, yang dianggapsebagai biang keladi perubahan iklim.Inilah yang dimaksud Menteri Rachmat Witoelar sebagairevolusi. Muncul paradigma baru dalam memandangsampah, yaitu sebagai sumber daya bernilai ekonomis,antara lain untuk energi, kompos, pupuk, atau bahanbaku. Itu sebuah pandangan yang sebenarnya sudahdimiliki para pemulung dan pengusaha.Beberapa lembaga swadaya masyarakat dan rukun wargapun telah mengaplikasi paradigma itu. Warga PerumahanJombang Permai, Kelurahan Kepanjen, dan pendudukKelurahan Jelakombo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur,misalnya, sudah sejak dua tahun lalu mengelola sampahrumah tangga ini. Begitu juga warga Jalan Patahilang,Kelurahan Sialang, Kota Palembang. "Sayangnya, cumaberjalan pada tingkat rukun warga, bukan skala kota,"kata Gempur Adnan.Walaupun baru warga yang bergerak, hasilnya sudahterlihat.
Pada 2005, lembaga swadaya masyarakat BinaEkonomi Sosial Terpadu membangun tempat pengolahansampah terpadu di Perumahan Mustika, KecamatanTigaraksa, Kabupaten Tangerang. Dana pembangunandiperoleh dari lembaga donor Jerman, BORDA.Ada 1.864 keluarga di delapan rukun warga yangterlayani, sehingga produksi sampah di perumahanMustika, menurut Direktur Bina Ekonomi, Hamzah Harunal-Rasyid, berkurang hingga 60 persen.
Sukses inimembuat Pemerintah Kabupaten Sidoarjo danBlitar--keduanya di Jawa Timur--dan PemerintahKabupaten Bogor, Jawa Barat, menggandeng Bina Ekonomiuntuk membangun unit pengolahan sampah di wilayahnya.Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, juga telahmendirikan dua pengolahan sampah di KecamatanCimanggis. Pemerintahlah yang membiayai pembangunanhanggar serta mesin pemilah dan pembuat kompos. Selamasetahun, pemerintah menggaji 12 pegawai yangmengoperasikan unit itu Rp 700 ribu per orang. "Tahunberikutnya, warga sekitar yang memberi honor," ujarWali Kota Depok Nurmahmudi Ismail.Setiap tahun, anggaran pendapatan dan belanja daerahDepok mengalokasikan 10 unit pengolahan sampah baru.
Satu unit diperuntukkan bagi 3.000 keluarga. Wali Kotasebenarnya ingin mempopulerkan pengelolaan sampah ini,tapi menurut dia kocek pemerintah terbatas sehinggatidak bisa membangun unit pengolahan sampah sekaligusdalam jumlah banyak.Nurmahmudi bersyukur dengan hadirnya Undang-UndangPengelolaan Sampah. Maklum, Dewan Perwakilan RakyatDaerah Kota Depok sebelumnya mempersoalkan pembangunanunit pengolahan sampah. "Peraturan ini mendorongpejabat mengelola sampah dengan baik dan benar,"katanya.UWD, Bernarda Rurit (Magelang), Kukuh S. Wibowo(Jombang), Arif Ardiansyah (Palembang).
Sumber: Majalah TempoEdisi 28 April-4 Mei 2008
